Mitigasi Bencana Persfektif Ekonomi Politik
Syamsu Alam*)
Hujan yang melanda Gowa dan Makassar akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Kenapa harus khawatir? Bukankah hujan adalah berkah dari langit yang dianugerahkan Tuhan pada bumi beserta isinya. Bisa ya, bisa tidak. Pengalaman adalah guru terbaik menjalani kehidupan.
Pada medio Januari 2019 lalu. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan mengemukakan banyak warga yang terdampak banjir dan longsor di 13 kota dan kabupaten, yang menyebabkan setidaknya 59 orang meninggal dunia dan 25 lainnya hilang. Sekitar 79 rumah rusak, 4857 rumah terendam, 11.876 ha sawah terendam banjir, 10 jembatan rusak, dua pasar rusak, 12 unit peribadatan rusak, 22 unit sekolah rusak, dll (bbc.com)
Bencana seperti dua sisi uang koin. Ia membawa bencana sekaligus ‘berkah’, demikianlah sunnatullah bekerja. Bencana membawa derita bagi warga yang terdampak, tetapi bisa menjadi ‘berkah’ bagi pihak lain. Misalnya saja, lembaga yang mengatasi bencana, anggarannya bisa cair dan bertambah, anggaran Pemda untuk kebencanaan meningkat, hingga penjual makanan ringan, kasur, kursi, dan material bangunan lainnya untuk renovasi pasca bencana. Termasuk berkah beramal bagi lembaga sosial.
Dalam literatur Kitab Suci Quran disebutkan, bencana terjadi karena ulah manusia itu sendiri. Itu doktrin yang dieketahui khalayak. Tetapi mengapa resapan air dikurangi, saluran air di bendung, ego developer membangun perumahan ibarat kolam yang saluran airnya hanya secuil. Arus air ke sungai dibendung oleh beton, drainase sempit, dan lain sebagainya. Kenapa terjadi hal demikian? Bisa jadi karena ego serakah yang membuncah hingga melupakan keberlanjutan hidup yang relatif aman dari bencana.
Dari sudut pandang ekonomi politik, pengelolaan bencana melibatkan berbagai pihak atau institusi. Jika ekonomi dipahami sebagai the science of wealth (adam smith), atau the logic of action (von mises). Sedangkan Politics as who get what, when, and how (Harold Lasswell). Dari teori ini dapat kita telusuri seberapa efektif, efisien, dan ekonomis pengelolaan risiko bencana di Sulsel. Siapa-siapa saja yang terlibat, bagaimana koordinasinya, adakah sinergi atau masih terjebak dalam ego sektoral masing-masing.
Ancaman meluapnya bendungan Bili-bili di Kab. Gowa merupakan bahaya laten yang setiap saat dapat memanifestasikan dirinya. Curah hujan yang tinggi, ditambah longsoran material dari hulu DAS Jeneberang semakin menambah kengerian risiko bencana yang selalu mengintai warga Makassar dan sekitarnya, termasuk kami. Siapa yang harus bertanggung jawab memberikan rasa aman bagi warga atas risiko bencana tersebut?
WALHI mencatat, dari total luas area DAS Jeneberang sebesar 78.480 hektare, luasan area serapan air (area hutan resapan) yang tersisa saat ini hanya sekitar 16,8 persen. Sementara sisanya, sebanyak 83,2 persen telah digunakan sebagai kawasan non-hutan dengan rincian, 28,3 persen untuk persawahan, 41,2 persen untuk pertanian holtikultura, 8,9 persen sebagai pemukiman penduduk, dan 1,3 persen Waduk Bili-bili, serta 3,5 persen tercatat untuk aktifitas lainnya (Walhi Sulsel).
Solusi Pemerintah
Guna mencegah banjir terulang di wilayah Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Maros dan di Kabupaten Takalar serta Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, pemerintah segera membangun bendungan baru. Pembangunan bendungan baru merupakan program jangka pendek usai pertemuan secara tertutup antara Jusuf Kalla (Wapres saat itu) dengan sejumlah menteri dan pemerintah setempat di kantor pantauan bendungan Bilibili (Kompas,2019).
Hal sama juga diamini oleh Pemerintah Daerah, dengan alasan karena bertemunya arus kuat sungai Jenelata ditambah dengan air dari bendungan saat dilakukan pembukaan pintu. Karena itu, pembuatan bendungan Jenelata sudah sangat mendesak dilakukan. Usul pejabat tinggi Kab.Gowa tersebut (Kompas.com)
Benarkah hanya itu solusi yang bisa dilakukan? Kenapa solusi-solusi proyek yang membutuhkan dana yang besar selalu jadi jalan keluar? Apakah tidak ada alternatif lain? Filosofi semesta, sunnatullah mengajarkan, dimana ada masalah maka disitu pula ada solusi.
Data, fakta dan fenomena di atas sepatutnya disadari oleh semua orang yang hidup di bawah bayang-bayang bencana. Entah oleh pengelola DAS, BBWS DAS Jeneberang, Pemprov, Ditjen, SDA, PUPR, dll. Termasuk kita semua warga biasa, LSM yang biasa mengatasnamakan warga, Polisi, Tentara, dan semuanya. Ini bukan sekadar soal rente ekonomi dalam proyek jangka pendek program sesaat, bulan sekadar serapan anggaran infrastruktur, ini persoalan hidup dan kehidupan kita sekarang dan masa yang akan datang
Resistensi dan Alternatif
Kami mendukung upaya Walhi dan aliansi lainnya agar meninjau kembali rencana pembangunan Bendungan Jenelata. Beberapa pertimbangan sederhana.
Pertama, Belajar dari pengalaman, Bendungan Bilibili dihadirkan untuk alasan ekonomi dan keamanan bencana. Bendungan untuk peningkatan produktivitas pangan di Gowa dan sekitarnya. Sebagai pembangikt listrik, sumber air PDAM. Berapa peningkatan perekomomian Gowa dari Sektor pertanian? Apakah petani Sejahtera dst,? Alasan lain, untuk mengatasi bencana. Banjir 2019 alam semesta menjawab. Air, sedimen dan longsoran dari Bawakaraeng seolah ‘berontak’ kenapa kalian membendungku.
Kedua, Pembangunan bendungan Jenelata, nasibnya akan serupa dengan seniornya ‘Bilibili’, ia akan menampung sedimen atau hanya menjadi penampungan sedimen dari “seniornya’. Berbahayakah, sangat. Dan masih banyak lagi alasan-alasan lain yang belum bisa kami publish di laman yang terbatas ini. Kajian geoekonomi dan politik mengantarkan pada pertanyaan misterius, Siapa sebenarnya yang butuh bendungan? Tidak adakah cara leluhur kita yang arif, bagaimana mereka memperlakukan alam secara seimbang, pantas, dan berkelanjutan tanpa membendungnya.
Kita butuh resapan air yang lebih banyak daripada sekadar serapan anggaran yang tinggi (alamyin). Wassalam.